Senin, 16 September 2019

Menakar ”Fashion” Indonesia Menuju 2025

Penyelenggara negara Indonesia mencanangkan Indonesia menjadi salah satu pusat fashion dunia pada 2025. Keinginan yang bergulir sejak 2012 itu ada alasannya. Alasan pertama, tentunya potensi ekonomi. Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif menyebutkan, fashion merupakan subsektor terbesar di bidang ekonomi kreatif, yang mampu menyumbang 31 persen penghasilan di sektor ini. Alasan kedua, kreativitas para desainer Indonesia dinilai mampu bersaing di kancah industri fashion global.
Keinginan itu patut dihargai. Namun, kita masih perlu mengkaji lebih dalam lagi kedua potensi tersebut. Mengapa?
Pertama, persoalan yang mendasar, sejauh pengamatan saya masih belum jelas batasan dan ruang lingkup fashion yang dimaksud oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf ). Kejelasan sangat penting karena industri fashion, selain cakupannya luas, juga bertingkat: excellence (haute couture), quality(ready-to-wear), dan snobbery (mass-production) (Gavin Waddell, 2004. How Fashion Work: Couture, Ready-to-Wear and Mass Production, Blackwell).
Tanpa kejelasan, tak mungkin Bekraf bisa membuat perencanaan tepat untuk mewujudkan keinginan di atas. Apalagi, jika kehendak menjadi pusat fashion itu diletakkan dalam koridor sistem fashion global, yang suka atau tidak berada dalam kendali Paris, London, Milan, dan New York (lihat Jenny Lantz, 2016. The Trendmakers: Behind the Scene of the Global Fashion Industry,Bloomsbury).
Kedua, tolok ukur untuk menilai kapasitas desainer Indonesia mampu bersaing di kancah global juga masih samar-samar. Bicara fashion bukan sekadar desain, juga komersial. ”Fashion is something you wear. It’s not something you put on the runway to show how creative you are. There’s nothing bad about selling dresses,” kata Karl Legerfeld (Mary Gehlhar, 2008. The Fashion Designer Survival Guide, Kaplan). Desainer sukses adalah desainer yang mampu menyeimbangkan aspek kreativitas, komersial, dan teknologi (lihat Sadikin Gani, Belajar Bisnis Fashion dari Inggris, Satusatu.id). Soal menakar kapasitas desainer Indonesia ini, perlu saya bahas tersendiri kelak.
Industri dulu dan kini
Ada baiknya kita perlu meninjau sejenak bagaimana latar belakang industri mode dunia yang kita kenal kini bertumbuh dalam semangat demokratisasi.
Pakaian sebagai (bentuk konkret) fashion (Yuniya Kawamura, 2005. Fashion-ology, Berg) menjadi industri baru dimulai menjelang akhir abad ke-19. Cikal-bakalnya adalah didirikannya House of Worth oleh Charles Frederick Worth (orang Inggris) di Paris, Perancis, pada 1858 (lihat Daniel James Cole and Nancy Deihl, 2015. The History of Modern Fashion from 1850, Laurence King). Kehadiran Worth memiliki arti penting.
Selain menandai lahirnya profesi fashion designer, menggeser peran dressmaker (lihat Chris Breward, 2003. Fashion, Oxford University Press), juga membuka jalan bagi berkembangnya pakaian siap pakai atau ready-to-wear yang memungkinkan konsumsi fashion bertambah luas.
Fashion yang semula hanya dinikmati keluarga kerajaan mulai bergeser ke kalangan orang-orang kaya baru yang mendapatkan kemakmuran ekonomi dari revolusi industri. Para sejarawan biasa menyebut pergeseran ini sebagai runtuhnya supremasi kerajaan sebagai trendsetter, dan lahirnya supremasi adibusana atau haute couture.
Menjelang akhir 1920-an, kecenderungan desainer untuk membuat pakaian siap pakai semakin menguat setelah Coco Chanel, Lucien Lelong, dan Jean Patou secara resmi menjual koleksi pakaian siap pakai di couture house mereka (Bonnie English, 2013. A Cultural History of Fashion in the 20th and 21st Centuries: From Catwalk to Sidewalk, Bloomsbury). Namun, supremasi adibusana atau haute couture (high sewing) tidak dengan sendirinya tergoyahkan, dan mampu bertahan hingga dekade 1950-1960-an.
Pamor adibusana mulai meredup ketika semangat pembaruan yang dibawa kaum muda—melalui berbagai gerakan sub-culture—mengalami kebangkitan dan memengaruhi dunia fashion. Yves Saint Laurent, misalnya, menanggapi perubahan tersebut dengan me-reinvented Paris fashion (haute couture) ke dalam gaya muda untuk pasar kelas menengah yang tengah tumbuh (Brenda Polan dan Roger Tredre, 2009. The Great Fashion Designers, Berg). Sebaliknya, couture house yang tidak tanggap menghadapi perubahan terpaksa gulung tikar. The House of Schiaparelli contohnya, secara resmi mengumumkan kebangkrutannya pada 1954.
Banyak pengamat menyebut 1960-an sebagai era kematian adibusana (lihat Teri Agins, 2010. The End of Fashion: How Marketing Changed the Clothing Business, Harper Collins), dan kebangkitan busana siap pakai. Surutnya supremasi adibusana dianggap sebagai penanda terjadinya demokratisasi dalam fashion. Setuju atau tidak, fakta menunjukkan, sejak model bisnis ready-to-wear mendominasi industri fashion global, dunia fashion tidak lagi identik dengan adibusana. Sebutan fashionable tidak lagi dimonopoli kaum kaya yang sanggup membeli pakaian adibusana seharga 10.000-200.000 dollar AS. Bicara fashion dan fashionable hari ini terbentang luas dari kelas konsumen adibusana hingga kelas masyarakat penikmat fast-fashion di bawah 50 dollar AS.
Ragam dan kelas
Meski demikian, meski fashion dianggap sudah demokratis, tidak berarti bangunan piramidanya sudah runtuh. Di puncak masih bercokol adibusana, pemegang kasta tertinggi dalam fashion. Tak banyak desainer di dunia ini yang berhasil meraih posisi couturier—memenuhi ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan The Chambre Syndicale de la Haute Couture, Paris. Supremasi Paris sebagai pusat fashion dunia masih sangat kuat. Karena itu, tidak mengherankan ketika inisiatif beberapa orang desainer Asia mendirikan The Asian Couture Federation (ACF) sempat mengundang pertanyaan cukup menohok: A Couture Stage Beyond Paris: Destiny, Dream or Delusion? (Robb Young, Businessoffashion.com).
Di bawah adibusana terdapat berbagai varian busana siap pakai (ready-to-wear) yang terbagi dalam beberapa kelas: (1) ready-to-wear top designer (1.000 dollar AS ke atas); (2) Bridge atau diffusion(300-600 dollar);  (3) upper-high street (150-300 dollar); (4) mid-high street (100 dollar); (5) lower-high street (50 dollar); dan (6) budget (di bawah 50 dollar) (lihat John Hopkins, 2012. Fashion Design: The Complete Guide, AVA).
Rumpilnya struktur industri fashion dapat kita lihat juga dari semakin beragamnya kategori produk fashion. Pakaian perempuan saja, misalnya: dress, coats and suits, sportswear, active sportswear, knitwear, evening wear, lingerie and beachwear, dan seterusnya. Perluasan kategori terjadi juga dalam pakaian remaja dan anak-anak.
Tak hanya itu, berkembang pula kategorisasi pakaian berdasarkan aktivitas (petualangan, hobi, wisata, dan perjalanan) serta keyakinan religi (hijab dan modest wear). Kategorisasi produk fashionmasih akan terus berkembang mengikuti perubahan masyarakat, serta (dan terutama) tantangan dan peluang komersial.
Pekerjaan rumah kita
Fashion adalah salah satu industri penting di dunia yang memberikan sumbangan signifikan bagi perekonomian global. Menurut laporan Euromonitor International, tahun 2014 pasar pakaian dan sepatu mencapai nilai 1,7 triliun dollar AS, dan diproyeksikan akan tumbuh hingga 2,2 triliun dolar AS pada 2019 (Kate Abnett, 2016). Tak heran jika sektor ini diincar banyak negara yang ingin menjadi pemain utama di dalamnya. Munculnya kehendak menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat fashion dunia juga lahir dalam konteks itu.
Lantas muncul pertanyaan, apakah kita memiliki potensi dan peluang untuk itu? Saya yakin ada banyak pendapat yang menyatakan kita punya potensi dan berpeluang besar. Begitu pun jika disuguhi pertanyaan apakah kita siap menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat fashion dunia, akan banyak pendapat yang menyatakan siap.
Jawaban seperti itu tentu menjadi harapan kita, tetapi untuk sekarang ini yang lebih penting dikemukakan bukan soal punya atau tidak punya potensi maupun siap atau tidak siap, melainkan: apakah kita sudah memiliki gambaran mencukupi tentang belantara dan kerumpilan industri fashion(dunia) yang senantiasa berubah cepat sehingga kita bisa bercermin untuk mengenali lebih dalam kapasitas yang kita miliki dan memutuskan dengan tepat di mana kita akan mengambil peran?
Jika tidak, keinginan menjadi salah satu pusat fashion dunia hanya akan hidup sebatas slogan, ibarat pungguk merindukan bulan.
sumber : http://satusatu.id/tag/bisnis-fashion/

Kamis, 21 Maret 2019

API's BCA


API adalah singkatan dari Application Programming Interface, dan memungkinkan developer untuk mengintegrasikan dua bagian dari aplikasi atau dengan aplikasi yang berbeda secara bersamaan. API terdiri dari berbagai elemen seperti function, protocols, dan tools lainnya yang memungkinkan developers untuk membuat aplikasi. Tujuan penggunaan API adalah untuk mempercepat proses development dengan menyediakan function secara terpisah sehingga developertidak perlu membuat fitur yang serupa.
Dalam perkembangan bisnis di era digital yang semakin pesat, kebutuhan financial technology (fintech) dengan layanan transasi perbankan semakin diperluka. Oleh karena itu, BCA menghadirkan Application Program Interface (API) untuk memudahkan para pelaku fintech untuk melakuan transaksi bisnis mereka.
Selain itu manfaat dari API BCA adalah memungkinkan para pelaku fintech atau e-commerce untuk mengintegerasikan situs maupun aplikasi mereka dengan sistem transaksi perbankan BCA. Lalu, API BCA membuat sistem transaksi mejadi semakin mudah dan nyaman karena semuanya sudah terintegrasi dengan sistem perbankan BCA dan BCA juga memberikan kesempatan pada IT developer untuk melakukan uji coba apabila tertaik untuk melakuakn integrasi system to system melalui API BCA. Layanan API BCA yang siap digunakan adalah transfer, informasi saldo, mutase rekening, lokasi ATM, status pembayaran Sakuku, pembayaran sakuku, info kurs, dan suku bunga deposito.
Pemain e-commerce, sebagai salah satu industri yang cukup berkembang di Indonesia, membutuhkan ekosistem pendukung untuk memajukan bisnis mereka, salah satunya adalah sistem pembayaran. Sistem pembayaran e-commerce saat ini dilakukan dengan transfer antar rekening bank.
Pembukaan API tabungan dari bank sebenarnya adalah hal yang sangat dibutuhkan pemain e-commerce. Dampak positifnya sangat besar yakni mendapat kemudahan transaksi di situs dan memudahkan pengecekkan akun.



Minggu, 24 Februari 2019

SMART Concept - Zalora


MAKRO
  • Social: Zalora menyediakan fitur “Hubungi Kami’ yang dapat di akses dengan para konsumen. Selain dapat digunakan untuk customer service, fitur “Hubungi Kami” juga dapat digunakan bagi para individu maupun organisasi yang ingin berkerjasama dengan Zalora
  • Mobile: Zalora menyediakan aplikasi yang dapat di akses di setiap smartphone dan hal tersebut dapat memudahkan para penggunanya untuk mengakses Zalora dimanapun dan kapanpu. Selain itu, Zalora juga memasarkan produknya melalui media sosial lain seperti facebook, Instagram, twitter, pinterest, youtube, dan linkedin yang dimana media sosail tersebut juga dapat di akses di setiap smartphone yang semakin memudahkan para konsumennya untuk menemukan produk apa saja yang ditawarkan oleh Zalora.
  • Apps:  Aplikasi Zalora dapat diunduh melalui Appstore maupun Goggle Play. Hal ini memudahkan para konsumen untuk mengakses Zalora. Dalam Aplikasi Zalora juga menawarkan fitur yang lengkap dan mudah digunakan. Selain itu, Bahasa yang digunakan di aplikasi Zalora dapat diubah sesuai keinginan dan hal tersebut membuat konsumen dari seluruh dunia dapat menggunakannya dengan nyaman dan mudah.
  • Real Time: Zalora sendiri sudah membuat estimasi sendiri untuk sampainya barang kepada konsumen sesuai dengan lokasi barang itu berada. Seperti contoh ada barang yang dapat dikirim dalam kurun waktu 1-3 hari kerja untuk wilayah Jakarta dan 2-6 hari kerja untuk wilayah luar Jakarta. Dan Zalora akan melakukan prosedur yang membuat barang tersebut sampat kepada konsumen sesuai dengan estimasi yang telah ditentukan.
  • Trusted: Zalora memberikan layanan COD untuk para konsumennya. Sehingga Para konsumen tidak perlu khawatir uangnya akan melayang jika barang tersebut tidak sampai. Selain itu, jika barang sudah sampai dan ternyata ada kerusakan ataupun ketidakpuasan mengenai barang tersebut, Zalora menyediakan fitur “Pengembalian / Penukaran Barang” yang dapat dengan mudah digunakan.
 MIKRO
  • Social: Para konsumen serta Zalora dapat berkomunikasi satu sama lain, jadi memudahkan para konsumen jika ada suatu complain, ataupun saran yang ingin diberikan kepada Zalora.
  • Measurable: Setelah menggunakan Zalora, para konsumen dapat memberikan kritik dan saran, serta memberikan rating. Hal itu membuat Zalora terus membenahi perusahaan agar lebih dicintai para penggunanya.
  • Assignable: Zalora menyediakan berbagai fitur yang sangat membantu para penggunanya untuk mencari barang yang di cari, mulai dari pengurutan barang berdasarkan jenis, merek, harga, dll. Yang pastinya dengan kemudahan tersebut, konsumen dari Zalora merasa sangat terbantu untuk pencarian barang.
  • Realistic: Zalora menerima pesanan dan kiriman ke seluruh Indonesia bahkan ke beberapa negara di dunia. Selain itu COD juga dapat dinikmati oleh para konsumennya dari seluruh Indonesia dan mancanegara.
  • Time-related: Layanan pengiriman Zalora sudah dibuat estimasi waktunya, dan para konsumen dapat memantau sudah sampain mana barang yang ia pesan. Serta ketepatan dan kecepatan waktu menjadi kelebihan dari Zalora.